Oleh Yudhistira ANM Massardi
Belum lagi reda debat
tentang Kurikulum 2013, kini dunia pendidikan dihebohkan oleh keputusan
Mahkamah Konstitusi yang memvonis bahwa proyek Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional dan Sekolah Bertaraf Internasional bertentangan dengan
UUD 1945.
Kedua perkara itu menarik perhatian masyarakat luas
terutama karena nalarnya dinilai tidak nyambung dan bertentangan dengan
pemahaman umum tentang tujuan pendidikan dan peningkatan kualitas sumber
daya manusia Indonesia. Salah satu di antara banyak pokok keberatan,
baik terhadap Kurikulum 2013 maupun proyek RSBI/SBI, meskipun
dimaksudkan untuk peningkatan kualitas, pada praktiknya penghapusan
bahasa daerah dan penggunaan bahasa Inggris justru dinilai melemahkan
jati diri bangsa.
Proyek pembuangan
Kritik
lain terhadap proyek RSBI/SBI, yang lantas menjadikan sekolah eksklusif
dan mahal, adalah melahirkan diskriminasi kaya-miskin dan meniadakan
kewajiban negara menyelenggarakan pendidikan bermutu bagi seluruh warga
negara.
Kehebohan ini untuk kesekian kali membuktikan bahwa
pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
tampaknya tak paham tentang arti dan tujuan pendidikan, apalagi dalam
hubungannya dengan kebudayaan. Lahirnya berbagai keputusan yang aneh itu
juga menunjukkan bahwa mereka tak paham fungsi Kemdikbud.
Satu-satunya
hal yang mereka pahami tampaknya adalah bahwa ada dana triliunan rupiah
yang harus segera digelontorkan. Untuk itu, dibuatlah berbagai program
sebagai proyek pembuangan uang. Diberitakan, dalam kurun 2006-2010,
Kemdikbud telah menyubsidi 1.172 RSBI/SBI dengan dana Rp 11,2 triliun!
Proyek itu juga menyedot dana yang tak sedikit dari pemerintah daerah
dan masyarakat. Untuk itu, kiranya Badan Pemeriksa Keuangan dan Komisi
Pemberantasan Korupsi segera mengusut peruntukan dan aliran seluruh dana
itu, serta menghukum berat para koruptor apabila ternyata mereka
berpesta pora dalam proyek itu.
Hakim konstitusi Akil Mochtar
seusai persidangan di Gedung Mahkamah Konstitusi pada 8 Januari lalu
tegas mengisyaratkan bahwa kehadiran Pasal 50 Ayat (3) UU Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang dijadikan payung hukum
bagi proyek RSBI/SBI terkesan dipaksakan.
”Undang-Undang
Sisdiknas itu tidak memberikan penjelasan, tiba-tiba pasal itu muncul
begitu saja sehingga (harus) dibatalkan,” kata Akil. Jadi, keberadaan
norma dalam pasal itu tak memiliki penjelasan dalam pasal-pasal
sebelumnya. Fakta adanya ”pasal siluman” ini mengingatkan pada berbagai
modus kongkalikong antara eksekutif dan legislatif dalam sejumlah kasus
korupsi. KPK harus turun tangan.
Rakyat sudah letih
Setelah
MK menyatakan RSBI/SBI inkonstitusional dan harus dibubarkan, Mendikbud
M Nuh secara normatif menyatakan menghormati dan akan melaksanakan
keputusan MK. Namun, pada saat yang sama, ia menyerukan agar para guru
dan siswa RSBI/SBI tetap berkegiatan seperti biasa. Hal serupa
dinyatakannya terhadap keputusan Mahkamah Agung beberapa tahun lalu yang
menyatakan bahwa ujian nasional harus dihentikan. Namun, hingga kini ia
berkeras menyelenggarakan ujian nasional—suatu hal yang menunjukkan
pembangkangan hukum.
Semua kemelut itu, selain membingungkan dan
menyedihkan, bisa dimaklumi jika juga membangkitkan rasa apatis
sekaligus amarah publik. Hendak dididik jadi apa sebenarnya bangsa kita?
Sudah 67 tahun merdeka, tetapi pemerintah tak juga mampu merumuskan dan
membuat desain besar pendidikan bangsa yang jelas, bernas, dan
holistik. Sebuah kebijakan pendidikan yang bisa dipahami akal sehat dan
mudah dilaksanakan di lapangan di semua unit pendidikan serta adil bagi
seluruh rakyat.
Rakyat sudah letih menjadi bangsa pariah dunia
yang moralnya ambruk oleh semeru korupsi, yang pemerintahannya begitu
lemah tanpa visi, yang kementerian pendidikannya begitu limbung tanpa
arah.
Kerusakan bangsa ini hanya bisa dihentikan jika,
pertama-tama, Kemdikbud dan Kementerian Agama yang juga menangani
institusi pendidikan sebagai mercusuar intelektualitas dan moralitas
berhenti menjadi sarang koruptor. Kedua, Kemdikbud dan Kementerian Agama
harus mengibarkan visi membangun manusia Indonesia yang berilmu,
berakhlak mulia, dan kukuh jati diri; serta misi membangun lembaga
pendidikan nasional yang membuat anak didik bahagia belajar dan cinta
belajar sepanjang hayat. Ketiga, semua pihak harus sadar bahwa semua itu
tak akan mewujud jika tak dimulai dengan penanganan ekstra serius
terhadap pendidikan anak usia dini!
Yudhistira ANM Massardi Pengelola Sekolah Gratis TK-SD Batutis Al-Ilmi di Bekasi
Januari 16, 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar